Kamis, 06 Februari 2014

Pesta ponan di Sumbawa

Ponan" adalah bagian dari upacara yang secara umum disebut upacara "Sedekah Orong". Pada prinsipnya upacara tersebut erat kaitannya dengan konsepsi keyakinan mengenai kesuburan dan keberhasilan produksi pertanian. Ditinjau dari latar belakang sejarah, upacara Ponan mencerminkan anasir campuran antara tradisi lokal dengan pengaruh agama Islam sebagai bagian proses akulturasi wilayah Nusa Tenggara.Upacara Ponan dapat ditinjau dari fungsi magis religius dan fungsi sosial. Fungsi magis religius terkait dengan perilaku gaib produktif yang lebih merupakan tindakan ritus permohonan kesuburan dan penolakan bencana yang mengancam keberhasilan produksi. Fungsi sosial terkait dengan upaya meningkatkan kesadaran sosial atau integrasi sosial antar warga petani

Asal – usul kata Ponan  
 Di atas Bukit Ponan tempat diselenggarakannya Pesta Ponan terdapat makam Haji Batu yang di keramatkan masyarakat sekitar beliau adalah orang yang rajin merawat padinya sehingga hasil panennya melimpah. Menurut cerita yang beredar dalam masyarakat Haji Batu sebenarnya menpunyai nama asli Gafar. Suatu hari saat beliau malewati sebuah sungai, beliau melihat banyak burung yang hendak minum dari sungai tersebut namun burung-burng itu tersebut terlihat ketakutan.  Melihat peristiwa itu Haji Batu pun mencoba untuk berwudhu dengan air sungai itu namun ketika beliau mengambil air dengan tangannya tiba-tibs batu dari dasar sungai menempel di tangannya,itu sebabnya beliau dipanggil Haji Batu.  Singkat cerita, Haji Batu pun memberi wasiat kapada keluarganya, beliau berkata ”Lamen ku mate, ngaro talat ku pang bawa puen pelam po’ nan” yang artinya ”Jika saya meninggal dunia, tolong kuburkan saya di bawah pohon mangga po’ itu” Yang kebetulan pohon mangga tersebut berada di sebuah bukit.itulah sebabnya mengapa tempat dilaksanakannya Pesta Ponan itu dinamakan Bukit ponan. 


Upacara ponan diawali dengan dzikir dan doa yang dipimpin oleh pemuka adat dan kyai. Usai doa, warga kemudian melakukan ritual membaca pujian kepada seluruh leluhur mereka dalam bahasa samawa yang kemudian dilanjutkan dengan pembagian makanan keseluruh warga dan ditutup dengan makan bersama.

Uniknya tidak semua makanan dihabiskan, tapi sebagian dibawa pulang, untuk ditebarkan di ladang dan sawah mereka. Mereka percaya makanan keramat ini bisa menyuburkan ladang mereka dan menghindarkan mereka dari segala bencana. "Menurut keyakinan warga, makanan yang dilempar ke sawah akan menyuburkan tanah dan ladang" kata Tokoh Adat, Hatta Jamal.
 

Ponan, Wujud Syukur Pada Allah
MASYARAKAT di lima desa wilayah Kecamatan Moyo Utara, yakni Poto atau Bekat, Malili, Lengas, Senampar, serta Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa, berkumpul di suatu bukit bernama Ponan yang berada di tengah lahan persawahan yang disebut Orong Rea Desa Poto.  Lokasi ini bisa berjarak sekitar belasan kilometer dari pusat kota Sumbawa Besar. Ribuan orang datang ke tempat ini merayakan pesta Ponan, tepatnya pada minggu ketiga atau keempat masa tanam padi. Tradisi yang turun menurun ini merupakan simbolis dari wujud rasa syukur dan ajang memanjatkan doa kepada Allah SWT agar hasil panen masyarakat setempat melimpah dan jauh dari kegagalan maupun hama.
 
Tradisi ini memiliki ciri khas terutama jenis kuliner yang sengaja disiapkan oleh kaum wanita. Tidak satupun kue yang dihidangkan berupa gorengan atau kue yang digoreng. Semua jenis kue yang dihidangkan seperti, petikal, buras, Range’ maupun onde-onde tanpa gula. Semuanya harus dimasak dengan cara direbus dan dibakar untuk range’.  Sedangkan kue petikal dan buras harus dibungkus menggunakan daun kelapa dan daun pisang.
 

Penggunaan daun kelapa dan pisang ternyata bagi masyarakat setempat dianggap sebagai bentuk kehebatan nenek moyang mereka dalam menyikapi sesuatu. Pasalnya, dengan peringatan tradisi Ponan ini, masyarakat yang awalnya tidak menanam pisang dan kelapa akhirnya menanam kedua jenis tanaman ini. Hal ini dianggap sebagai bentuk pelestarian lingkungan.

Kenapa harus direbus ? Masyarakat setempat meyakini, dengan direbus akan menghasilkan uap. Uap hasil rebusan ini disimbolkan sebagai penguapan yang diharapkan akan menurunkan hujan untuk mengairi sawah petani.

Ketua Lembaga Adat Ponan, Hatta Jamal, memaparkan, tradisi ini sejatinya diperingati sebanyak 2 hingga 3 kali dalam setahun. Namun dalam 6 tahun terakhir, lazimnya diperingati sekali dalam setahun di pekan kedua atau ketiga bulan Februari.

Makna yang terkandung di dalam tradisi Ponan, yakni untuk memupuk tali silaturrahim antar masyarakat diiringi doa bersama untuk memohon kepada yang kuasa agar dalam berusaha ke depan selalu diberikan rejeki.


Suatu ketika beberapa tokoh adat setempat tidak merayakan tradisi Ponan. Ide ini ternyata berakibat pada menurunnya produksi tanaman padi petani setempat. Tanaman padi dirusak hama bahkan gagal panen. Boleh percaya atau tidak, tapi inilah keyakinan masyarakat kepada yang maha kuasa.

 Tradisi ponan ini hingga saat ini masih terus digelar pada setiap musim tanam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar