Hampir sepekan tepatnya 22/9/2014 Indonesia di hebohkan dengan soal PR Matematika siswa kelas 2 SD yang di-upload di Facebook.
Bermula dari seorang mahasiswa teknik mesin dari Universitas Diponegoro (Undip) Muhammad Erfas Maulana, mempertanyakan logika matematika dalam soal tugas adiknya yang kelas II SD. Dalam soal itu, sang guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian.Soal perkalian menjadi perdebatan karena ada perbedaan konsep dalam menjawab. Siapa sangka soal PR mata pelajaran matematika siswa SD kini menjadi perdebatan seantero Indonesia.
Sang adik pun menjawab, 4x6. Namun jawaban tersebut disalahkan gurunya. Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan, 4x6 atau 6x4.di duniaa mayaBermula dari seorang mahasiswa teknik mesin dari Universitas Diponegoro (Undip) Muhammad Erfas Maulana, mempertanyakan logika matematika dalam soal tugas adiknya yang kelas II SD. Dalam soal itu, sang guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian.Soal perkalian menjadi perdebatan karena ada perbedaan konsep dalam menjawab. Siapa sangka soal PR mata pelajaran matematika siswa SD kini menjadi perdebatan seantero Indonesia.
Awalnya, saya juga berpikir kenapa guru menyalakan suatu pr. Padahal hasilnya sama . Kenapa pula pengerjaannya harus persis sama dengan guru kalau ternyata hasilnya sama. Namun pikiran ini berubah setelah membaca status di facebook yang notabene dia adalah guru matematika. Dia bilang, sang guru sudah mengambil langkah yang tepat dengan menyalahkan PR muridnya, karena memang pengerjaannya salah. Misal sering
kita alami sehari-hari apabila ke apotik/ rumah sakit dan mendapatkan
obat dokter pasti akan di tulis di kemasannya 3 x 1 artinya 3 kali
sehari 1 tablet, bayangkan apabila kita anggap sama yang penting hasil
akhirnya, 3 tablet sekali minum obat akan over dosis Ini sama saja dengan soal 4+4+4+4+4+4 = 6x4 bukan 4x6.
Matematika itu ilmu pasti. Yang rumus dan pengerjaannya sudah baku berbeda dengan pelajaran non eksak. Angka boleh sama namun dalam konseptual dan logika berbeda
Kita sering kali berkata “yang penting hasilnya sama” Padahal, untuk apa hasil sama ketika dilakukan dengan cara yang keliru. Selain itu, proses yang akan dihargai tentunya adalah sebuah proses yang sesuai dengan ketentuan dan hukum-hukum yang berlaku. Kalau proses yang kita lakukan keliru jangan mengharapkan penghargaan, apalagi hasil yang luar biasa.
Astronom sekaligus Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin juga menilai, belajar logika matematika seperti ini sebenarnya hal yang mengasyikkan. Namun kini, banyak orang yang sekadar ingin mencari cara cepat penyelesaian soal matematikan tanpa mengerti logikanya.
Yang penting tahu hasilnya. Itulah yang menjadikan generasi 'kalkulator', yang malas menjadikan logika matematika untuk memudahkan kehidupan. Dengan kemampuan berlogika, suatu kasus bisa dimodelkan dengan rumusan matematis, sehingga mudah dipecahkan.Matematika itu ilmu pasti. Yang rumus dan pengerjaannya sudah baku berbeda dengan pelajaran non eksak. Angka boleh sama namun dalam konseptual dan logika berbeda
Kita sering kali berkata “yang penting hasilnya sama” Padahal, untuk apa hasil sama ketika dilakukan dengan cara yang keliru. Selain itu, proses yang akan dihargai tentunya adalah sebuah proses yang sesuai dengan ketentuan dan hukum-hukum yang berlaku. Kalau proses yang kita lakukan keliru jangan mengharapkan penghargaan, apalagi hasil yang luar biasa.
Astronom sekaligus Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin juga menilai, belajar logika matematika seperti ini sebenarnya hal yang mengasyikkan. Namun kini, banyak orang yang sekadar ingin mencari cara cepat penyelesaian soal matematikan tanpa mengerti logikanya.
"Ayolah mulai sekarang, belajar matematika yang asik dengan soal-soal cerita. Soal cerita sering dianggap susah karena tidak menggunakan logika dan jarang diajarkan membuat model matematikanya,"
Mudah-mudahan dari kejadian diatas kita dapat mengambil hikmahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar