Sabtu, 13 Agustus 2011

Menyambut Bulan Ramadhan

Bagaimana Kita Menyambut Bulan Ramadhan
Untuk menyambut bulan yang mulia ini, kami ringkaskan beberapa hal penting sebagaimana berikut:

1. Berdo'a, semoga Allah memperpanjang umur kita sampai pada bulan Ramadhan, seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum Salaf, begitu pula memohon kepada Allah pertolongan dan kekuatan dalam menunaikan puasa, qiyamullail (shalat malam) dan beramal shalih di dalamnya.
Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan". (QS. al-Fatihah:5)

2. Kebersihan dan kesucian, maksudnya adalah kebersihan ma'nawi yaitu taubat yang tulus dan sebenar-benarnya dari segala dosa dan maksiat. Bagaimana mungkin seseorang menu-naikan shaum sedangkan dia berbuka dengan sesuatu yang haram, atau meninggalkan shalat, atau durhaka kepada kedua orang tua, sehingga Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam melaknat dan malaikat Jibril pun mengamininya?

Wahai saudaraku yang saya cintai! Bagaimana anda menginginkan shaum yang diterima dan bermanfaat, sedangkan anda berada dalam keadaan melakukan dosa ini dan itu?

Belumkah anda mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya,"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya dari makan dan minum". (HR. al-Bukhari).

"Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga". (Shahih Al Jami').

Maka Bertaubatlah dengan taubat yang tulus dan sebenar-benar taubat, sebab pintu taubat masih terbuka. Dan taubat itu bukan sekedar meninggalkan perbuatan dosa, akan tetapi dengan mengembalikan hati dan hawa nafsu kepada Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib, "Maka kembalilah kepada Allah". (QS. adz-Dzariat:50).

3. Di antara persiapan jiwa dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, hendaknya anda dengan sepenuh hati melakukan shaum sebaik-baiknya dan beramal shalih pada bulan Sya'ban. Sebab pada bulan Sya'ban ini segala amal perbuatan diangkat kepada Allah, sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid.

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shaum sepanjang bulan Sya'ban atau melakukan shaum pada bulan itu kecuali beberapa hari saja beliau tidak melakukannya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

4. Di antara masalah penting lain-nya adalah bertafaqquh (memahami) hukum-hukum shaum dan mengenal petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum memasuki shaum; mempelajari syarat-syarat shaum, syarat sahnya, yang membatal-kannya, hukum shaum pada hari yang diragukan, apa yang boleh, wajib atau haram dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan shaum, apa etika dan sunnah-sunnahnya, hukum-hukum qiyamullail, berapa bilangan raka'atnya, hukum-hukum shaum bagi yang ber-halangan baik karena safar (bepergian) atau sakit, hukum zakat fitrah dan lain sebagainya. Begitu pula mengenai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bulan Ramadhan yang bertalian dengan diri beliau, shaumnya, qiyamullailnya, kemurahan hatinya, pemeliharaan dirinya serta keteladanan beliau dalam bertadarrus al-Qur'an, juga yang berkaitan dengan keluarga dan umatnya. Sebab segala sesuatu harus didahului dengan ilmu dan pemahaman sebelum mengamalkannya.

5. Mempersiapkan acara-acara menyambut "tamu agung", di antaranya dengan membaca al-Qur'an, mempelajarinya kemudian menghafalnya, qiyamullail, memberi buka puasa kepada orang-orang yang berpuasa, melakukan umrah, i'tikaf, dan berlomba dalam kebaikan dengan semangat fastabiqul khairat, shadaqah, dzikir, penyucian jiwa dan lain-lain.

Kita berdo'a semoga Allah berkenan memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita agar dapat beramal shalih pada bulan Ramadhan.

"Ya Allah, pertemukan kami dengan bulan Ramadhan dan berilah kami pertolongan untuk dapat menunaikan shiyam, qiyam, dan amal shalih di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya. Teguhkanlah kami pada keta-atan sampai kami menemui-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan segala do'a". Amin ya Rabbal ‘alamin.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad subhanahu wata’alabeserta keluarga dan para sahabatnya.

Jangan Lewatkan Ramadhanmu
Sering sekali kita mendengarkan dan membaca hadits-hadits/sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang berisikan kabar gembira saat kedatangan bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menyatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan dibukanya pintu rahmat dan pintu surga, ditutup rapat-rapat seluruh pintu Jahannam dan syetan-syetan dibelenggu . Beliau bersabda,

“Apabila masuk awal bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan tak ada satu pun dari pintu itu yang ditutup, serta pintu-pintu Jahannam ditutup dan tak satu pun di antara pintu-pintu itu yang terbuka, dan syetan-syetan dibelenggu” (HR. At-Tirmidzi dan mengatakan hadits hasan gharib,Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, An-Nasai. Dan Al-Hakim dengan lafal yang sama mengatakan, “Shahih, sesuai syarat Al-Bukhari-Muslim”. (At-Targhib wat-Tarhib 2/220)

Rasulullah telah menyatakan bahwa, ”Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kalian berpuasa janganlah berkata jorok dan jangan bicara yang tak berguna. Jika ada orang lain mencacinya atau mengajak berkelahi maka hendaklah ia berkata, ”Aku sedang berpuasa.” (Muttafaq alaih).

Beberapa Permasalahan yang Perlu Diperhatikan
  • Setiap muslim hendaknya melakukan puasa Ramadhan karena iman dan ihtishab (mengharap pahala), bukan karena riya’, sum’ah, ikut-ikutan kebanyakan orang, malu terhadap keluarga atau tetangga jikatidak berpuasa. Berpuasa karena iman artinya berdasarkan keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan puasa terhadapnya, dan ihtisab karena untuk mencari pahala yang telah disediakan Allah bagi orang berpuasa. Demikian pula shalat malam pada bulan itu harus karena iman dan ihtisab.
  • Ada sebagian orang ketika berpuasa lalu terluka, mimisan, muntah, atau tenggorokannya kemasukan air tanpa disengaja ia langsung membatalkan puasanya. Padahal sebenarnya hal-hal tersebut tidaklah membatalkan puasa karena tidak adanya unsur kesengajaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda,“Barang siapa yang tidak sengaja muntah, maka tidak perlu untuk mengqada’ (puasanya tidak batal), dan barang siapa segaja muntah maka wajib baginya mengqadha”.(HR. Al-Khomsah (lima Imam), Imam Ahmad mengatakan ada cacat, Ad-Daruquthni menguatkannya)Demikian pula yang terjadi pada sebagian wanita yang sedang haid atau nifas, apabila mendapati dirinya telah selesai (suci)sebelum fajar (pada bulan puasa) maka dia harus berniat untuk puasa sebelum fajar (Shubuh). Dan tidak mengapa kalau mau mengakhirkan mandi setelah terbit fajar, namun tidak boleh mengakhirkannya setelah terbit matahari. Demikian pula bagi yang junub juga berlaku demikian, dan bagi laki-laki harus segera mandi supaya dapat menjalankan shalat Shubuh dengan berjamaah di masjid.
  • Pemeriksaan darah untuk keperluan laboratorium serta suntik dengan jarum tidak membatalkan puasa. Kecuali yang bertujuan untuk mensuplai zat-zat makanan seperti infus, maka puasanya batal. Namun sebaiknya suntik/periksa darah tidak dilakukan di siang hari Bulan Ramadhan karena yang demikian lebih terjaga dan membuat tenang. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Tinggalkan apa-apa yang membuat kalian ragu, kepada apa yang tidak meragukan’ (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai).Dan sabda beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam yang lain, “Barang siapa yang menjauhi perkara-perkara syubhat, maka berarti telah menjaga agama dan kehormatannya.” (Muttafaq ‘alaih) 
  • Sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin ada yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, baik shalat fardhu maupun sunnah, terutama shalat tarawih. Padahal tuma’ninah (khusyu’ dan tenang) adalah rukun shalat yang juga menentukan shah tidaknya shalat. Ukuran tuma’ninah ini adalah apabila sendi-sendi telah kembali pada tempatnya (sehabis melakukan gerakan, seperti rukuk, sujud dan sebagainya).
  • Sebagian kaum muslimin ada yang memiliki persangkaan, bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari dua puluh raka’at (atau 23 dengan witirnya). Sebagian lagi mengira bahwa tarawih tidak boleh melebihi sebelas atau tiga belas rakaat. Kedua-duanya adalah persangkaan yang keliru, karena menyelisihi dalil-dalil yang ada.Dalil-dalil yang shahih menunjukkan bahwa shalat malam pada Bulan Ramadhan atau selainnya adalah tidak terbatas pada bilangan tertentu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah shalat sebelas raka’at, tiga belas rakaat atau kurang dari itu, baik di kala Ramadhan atau di luarnya. Dan ketika beliau ditanya tentang shalat malam beliau menyatakan, ”Dua raka’at-dua raka’at, dan jika kalian khawatir masuk Shubuh maka shalatlah satu rakaat untuk witir dari shalat yang telah dilakukan.” (HR. Muttafaq ‘alaih)Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak membatasi pada jumlah rakaat tertentu, maka para sahabat di masa khalifah Umar, ada yang shalat dua puluh tiga rakaat dan ada pula yang shalat sebelas rakaat. Kesemuanya adalah benar (Imam Malik, Al-Muwa-tha 1/138). Dan sebagian salaf ada yang shalat tiga puluh enam rakaat tambah witir tiga rakaat, ada pula yang shalat empat puluh satu rakaat.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa masalah shalat malam adalah masalah yang luas. Beliau menambahkan bahwa bagi yang memperpanjang bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya menyedikitkan jumlah rakaat. Dan bagi yang memendekkan bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya memperbanyak bilangan rakaatnya, demikian penjelasan beliau rahimahullah.Namun kalau kita memperhatikan dalil-dalil yang ada, maka akan didapati bahwa yang lebih utama adalah sebelas rakaat baik di kala Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena sesuai dengan praktek yang paling biasa dilakukan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, di samping tidak terlalu membebani jamaah serta lebih mendekati kekhusyu’an dan tuma’ninah. Dan bagi yang ingin menambah dari yang sebelas rakaat itu, maka tidak ada masalah dan baik juga. sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang penting adalah dalam qiyam Ramadhan atau tarawih hendaknya dilakukan dengan berjama’ah sampai selesai shalat bersama imam, agar terhitung sebagai shalat satu malam.
  • Dianjurkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berlomba-lomba dan bersegera dalam melakukan amal kebajikan sepanjang Bulan Ramadhan ini.Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memberikan kabar gembira kepada kita bahwa barang siapa yang melakukan suatu kebaikan (yang bukan wajib) pada Bulan Ramadhan, maka seakan-akan ia telah melakukan ibadah wajib pada bulan yang lain. Dan barang siapa yang melakukan satu kewajiban pada bulan tersebut, maka ia seperti melakukan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Sedangkan umrah di Bulan Ramadhan pahalanya menyamai ibadah haji, bahkan ibadah haji bersama Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
Beliau juga bersabda, ”Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah meliputi kalian di dalam bulan tersebut, rahmat diturunkan, dosa-dosa dihapuskan dan do’a-do’a dikabulkan. Allah melihat kalian semua berlomba-lomba di dalam bulan itu, maka Dia merasa bangga terhadap kalian dan para malaikat. Maka perlihatkanlah segala macam kebaikan diri kalian di hadapan Allah. Sebab orang yang celaka adalah orang yang terhalang mendapatkan rahmat Allah pada bulan tersebut.”(HR. Ath-Thabrani dan para perawinya tsiqat (terpercaya)/At-Targhib wa At-Tarhib 2/222)


kesalahan-kesalahan dalam bulan ramadhan
Di antara kesalahan-kesalahan yang acap kali dilakukan orang berkaitan dengan bulan Ramadhan adalah:

1. Tidak mengetahui hukum-hukum puasa serta tidak menanyakannya.
Padahal Allah berfirman, artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui." ( An-Nahl: 43).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agamanya." ( Muttafaq Alaih).

2. Menyambut bulan suci Ramadhan dengan hura-hura dan bermain-main.
Padahal yang seharusnya adalah menyambut bulan yang mulia tersebut dengan dzikir dan bersyukur kepada Allah, karena masih diberi kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan. Lalu hendaknya ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, kembali kepada Allah serta melakukan muhasabatun nafs (perhitungan dosa-dosa pribadi), baik yang kecil maupun yang besar, sebelum datang hari Perhitungan dan Pembalasan atas setiap amal yang baik maupun yang buruk.

3. Ta'at hanya di bulan Ramadhan.
Sebagian orang, bila datang bulan Ramadhan mereka bertaubat, shalat dan puasa. Tetapi jika bulan Ramadhan telah berlalu mereka kembali lagi meninggalkan shalat dan melakukan berbagai perbuatan maksiat. Alangkah celaka golongan orang seperti ini, sebab mereka tidak mengetahui Allah kecuali di bulan Ramadhan. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Tuhan bulan-bulan pada sepanjang tahun adalah Satu jua? Bahwa maksiat itu haram hukumnya di setiap waktu? Bahwa Allah mengetahui perbuatan mereka di setiap saat dan tempat?

4. Beranggapan keliru.
Sebagian orang beranggapan bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk tidur dan bermalas-malasan di siang hari, serta untuk begadang di malam hari. Lebih disayangkan lagi, mayoritas mereka begadang dalam hal-hal yang dimurkai Allah, berhura-hura, bermain yang sia-sia (seperti main kartu dsb.), menggunjing, adu domba dan sebagainya. Hal-hal semacam ini sangat berbahaya dan merugikan mereka sendiri.
Sesungguhnya hari-hari bulan Ramadhan merupakan saksi ta'atnya orang-orang yang ta'at dan saksi maksiatnya orang-orang yang ahli maksiat dan lupa diri.

5. Bersedih dengan datangnya bulan Ramadhan.
Sebagian orang ada yang merasa sedih dengan datangnya bulan Ramadhan dan bersuka cita jika bulan Ramadhan berlalu. Sebab mereka beranggapan bulan Ramadhan akan menghalangi mereka melakukan kebiasaan maksiat dan menuruti syahwat. Mereka berpuasa sekedar ikut-ikutan dan toleransi. Karena itu mereka lebih mengutamakan bulan-bulan lain daripada bulan Ramadhan. Padahal ia adalah bulan penuh barakah, ampunan, rahmat dan pembebasan dari Neraka bagi setiap muslim yang melakukan kewajiban-kewajibannya dan meninggalkan setiap yang diharamkan atasnya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala yang dilarang.

6. Begadang untuk sesuatu yang tidak terpuji.
Banyak orang yang begadang pada malam-malam Ramadhan dengan melakukan sesuatu yang tidak terpuji, bermain-main, ngobrol, jalan-jalan atau duduk-duduk di jembatan atau trotoar jalan. Pada tengah malam mereka baru pulang dan langsung sahur kemudian tidur. Karena kelelahan, mereka tidak bisa bangun untuk shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.

Ada banyak kesalahan dan kerugian dari perbuatan semacam ini:
  • Begadang dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam membenci tidur sebelum Isya' dan bercengkerama (ngobrol) setelahnya kecuali dalam hal kebaikan. Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh bercengkerama kecuali bagi orang yang shalat atau bepergian." (As-Suyuthi berkata, hadits ini hasan).
  • Sia-sianya waktu mereka yang sangat berharga. Mereka sama sekali tidak memanfaatkannya sedikitpun. Padahal masing-masing orang akan menyesali setiap waktu yang ia lalui tanpa diiringi dengan mengingat Allah di dalamnya.
  • Menyegerakan sahur sebelum waktu yang dianjurkan. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan sahur pada akhir malam sebelum terbit fajar.
Musibah terbesar mereka adalah tidak dapat menunaikan shalat Shubuh berjamaah tepat pada waktunya. Betapa tidak, sebab pahala shalat Shubuh berjamaah menyamai shalat satu malam atau separuhnya. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Barangsiapa shalat Isya' berjamaah maka seakan-akan ia shalat separuh malam dan barangsiapa shalat Shubuh berjamaah maka seakan-akan ia shalat sepanjang malam." (HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu).

Orang yang meninggalkan shalat Shubuh secara berjamaah tersebut berkarakter sebagaimana orang-orang munafik, mereka tidak melakukan shalat kecuali dalam keadaan malas, mengakhirkan waktunya dan tidak berjamaah. Mereka mengharamkan dirinya dari mendapatkan keutamaan serta pahala yang besar.

7. Hanya menjaga hal-hal lahiriah.
Banyak orang yang menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa secara lahiriah seperti makan, minum dan bersenggama dengan isteri, tetapi tidak menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa secara maknawiyah seperti menggunjing, adu domba, dusta, melaknat, mencaci, memandang wanita-wanita di jalanan, di toko, di pasar dan sebagainya.
 
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum."(HR. Al-Bukhari).

8. Meninggalkan shalat Tarawih.
Padahal telah dijanjikan bagi orang yang menjalankannya -karena iman dan mengharap pahala dari Allah- ampunan akan dosa-dosanya yang telah lalu. Orang yang meninggalkan shalat taraweh berarti meremehkan adanya pahala yang agung dan balasan yang besar ini.

9. Puasa tetapi tidak shalat.
Sebagian orang ada yang berpuasa, tetapi meninggalkan shalat atau hanya shalat ketika bulan Ramadhan saja. Orang semacam ini puasa dan sedekahnya tidak bermanfaat. Sebab shalat adalah tiang dan pilar utama agama Islam.

10. Bepergian agar punya alasan berbuka.
Sebagian orang melakukan perjalanan ke luar negeri pada bulan Ramadhan untuk tujuan yang baik, tetapi agar bisa berbuka puasa dengan alasan musafir.

Perjalanan semacam ini tidak dibenarkan dan ia tidak boleh berbuka karenanya. Sungguh tidak tersembunyi bagi Allah tipu daya orang-orang yang suka menipu. Sebagian besar orang yang melakukan hal tersebut adalah para tukang mabuk dan minum-minuman keras. Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari yang demikian.

11. Berbuka dengan sesuatu yang haram.
Seperti minuman yang memabukkan, rokok dan sejenisnya. Atau berbuka dengan sesuatu yang didapatkan dari yang haram. Orang yang makan atau minum dari sesuatu yang haram tak akan diterima amal perbuatannya dan tak mungkin pula do'anya dikabulkan
 
12. Tergesa-gesa dalam shalat.
Sebagian imam-imam masjid dalam shalat tarawih amat tergesa-gesa dalam shalatnya. Mereka melakukan gerakan-gerakan dalam shalatnya dengan amat cepat, sehingga menghilangkan maksud shalat itu sendiri. Mereka dengan cepat membaca ayat-ayat suci Al- Qur'an, padahal semestinya ia membaca secara tartil. Mereka tidak thuma'ninah (tenang) ketika ruku', sujud, bangun dari ruku' dan ketika duduk antara dua sujud, ini adalah tidak boleh dan shalat menjadi tidak sempurna karenanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada orang yang tidak thuma'ninah dalam shalatnya, artinya: "Kembalilah, lalu shalatlah karena sesungguhnya engkau belum shalat." (Muttafaq Alaih).

Dan seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Yakni ia tidak menyempurnakan ruku', sujud dan bacaan dalam shalatnya.

Shalat adalah timbangan, barangsiapa menyempurnakan timbangannya maka akan disempurnakan untuknya. Sebaliknya, barangsiapa curang maka Neraka Wail-lah bagi orang-orang yang curang.

13. Memanjangkan doa' qunut,
Berdo'a dengan do'a-do'a yang bukan dituntunkan Nabi shallallahu alaihi wasallam, hal yang terkadang membuat bosan dan keengganan para makmum shalat bersamanya.

Sebenarnya, do'a yang dituntunkan Rasul shallallahu alaihi wasallam dalam qunut witir adalah ringan dan mudah.

Dari Hasan bin Ali radhiallahu anhuma , ia berkata:
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan (sebagai do'a) dalam qunut witir yaitu:

"Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang Engkau beri petunjuk, berilah aku ampunan sebagaimana orang yang Engkau beri ampunan, uruslah aku sebagaimana orang yang Engkau urus, berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan qadha' (ketentuan)Mu, sesungguhnya Engkau yang menentukan qadha' dan tidak ada yang memberi qadha' kepadaMu, sesungguhnya orang yang Engkau tolong tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia, Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami dan Mahatinggi Engkau."(HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan).

Dan tidak diketahui dari Nabi shallallahu alaihi wasallam do'a qunut yang lebih baik dari ini.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam pada akhir shalat witir mengucapkan:
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridhaMu dari kemurkaanMu, dan dengan ampunanMu dari siksaMu dan aku berlindung kepadaMu daripada (murka dan siksa)Mu, aku tidak (bisa) menghitung (banyaknya) pujian atasMu sebagaimana pujianMu atas DiriMu Sendiri." (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan).

14. Tidak memperhatikan sunnah.
Adalah sunnah setelah salam dari shalat witir mengucapkan:
"Maha Suci Tuhan Yang Maha Menguasai dan Mahasuci." sebanyak tiga kali. Ini berdasarkan hadits riwayat Abu Daud dan Nasa'i dengan sanad shahih. Tetapi, banyak orang yang tidak mengucapkannya. Untuk itu, para imam dan penceramah perlu mengingatkan jama'ahnya dalam masalah ini.

15. Mendahului imam.
Banyak didapati para makmum mendahului imam dalam shalat tarawih dan shalat-shalat lainnya, baik dalam memulai gerakan ketika ruku', sujud, berdiri atau duduk. Ini adalah tipu daya setan dan salah satu bentuk peremehan terhadap masalah shalat.

Ada empat kondisi antara makmum dengan imamnya dalam shalat jama'ah. Satu daripadanya dianjurkan dan tiga kondisi lainnya dilarang. Tiga kondisi yang dilarang itu adalah makmum mendahului imam, menyelisihi (terlambat daripada)nya dan menyamai (berbarengan dengan)nya. Adapun satu kondisi yang dianjurkan bagi makmum yaitu mengikuti imam. Dalam shalatnya, para makmum dianjurkan langsung mengikuti pekerjaan-pekerjaan shalat imamnya. Jadi, makmum tidak boleh mendahului gerakan-gerakan imam, juga tidak boleh membarengi atau terlambat daripadanya.

Orang yang mendahului gerakan imam, shalatnya adalah batal. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau mengubah rupanya menjadi rupa keledai?" (Muttafaq Alaih).

16. Makmum membaca mushaf.
Sebagian makmum ada yang membawa mushaf Al-Qur'an ketika shalat tarawih, mereka mengikuti bacaan imam dengan melihat mushaf Al-Qur'an. Pekerjaan ini adalah tidak disyari'atkan dan juga tidak didapatkan dalam amalan para salaf. Ia tidak boleh dilakukan kecuali bagi orang yang ingin membetulkan imam jika salah.

Yang diperintahkan kepada makmum adalah mendengarkan bacaan imam dengan diam. Hal ini berdasarkan firman Allah, artinya, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat."( Al A'raf: 204).

Imam Ahmad berkata: "Banyak orang sepakat bahwa ayat ini maksudnya adalah ketika dalam keadaan shalat". Lalu, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin juga telah mengingatkan dalam "At- Tanbiihat 'Alal Mukhaalafati Fis Shalah", beliau berkata,"Sesungguhnya pekerjaan ini (makmum membaca mushaf Al-Qur'an ketika shalat) menjadikan makmum tidak khusyu' dan tadabbur dalam shalatnya, karena itu ia termasuk pekerjaan sia-sia."

17. Mengeraskan do'a qunut.
Sebagian imam masjid mengeraskan suaranya ketika do'a qunut lebih dari yang seharusnya. Padahal tidak diperkenankan mengeraskan suara kecuali sebatas agar bisa didengar oleh makmum, dan sesungguhnya Allah berfirman, artinya: "Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al- A'raaf : 55).

Ketika para sahabat mengeraskan suara saat bertakbir, seketika Rasulullah shallallahu alaihi wasalam melarang mereka dari yang demikian, seraya bersabda: "Rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya kamu tidak berdo'a kepada Dzat yang tuli, tidak pula ghaib."(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

18. Memendekkan bacaan shalat.
Sebagian besar imam-imam masjid dalam shalat-shalat yang disyari'atkan tidak memanjangkan bacaan seperti ketika shalat tarawih dan shalat kusuf (gerhana), mereka tidak memanjangkan bacaan bahkan sebagiannya melakukan ruku', sujud, bangun dari ruku' dan duduk antara dua sujud dengan sangat cepat.

Shalat yang disyari'atkan adalah shalat yang sesuai dengan teladan dan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam. Adapun ukuran ruku' dan sujud Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah tak jauh berbeda dengan saat beliau berdiri. Dan bila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengangkat kepalanya dari ruku', beliau diam berdiri (lama) sehingga seorang sahabat berkata beliau telah lupa. Dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud beliau duduk lama sehingga ada sahabat yang berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah lupa. Al-Bara' bin Azib radhiallahu anhu berkata: "Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam maka aku dapati berdirinya, ruku'nya, sujudnya dan duduknya antara dua sujud hampir sama (antara semuanya)". Dalam riwayat lain disebutkan, "Tidaklah (beliau) berdiri kecuali hampir sama dengan duduknya." Maksudnya, bila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memanjangkan berdirinya, maka beliau juga memanjangkan ruku', sujud dan duduk antara dua sujud.


Kekeliruan Dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian, dapat mendoakan mereka sewaktu-waktu. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan dan meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang mengajarkan hal ini.
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya seputar masalah ini:
Apakah ziarah kubur pada hari-hari raya halal atau haram ?
Beliau menjawab: hal itu tidak mengapa, kapan saja boleh,tetapi mengkhususkannya pada hari raya tidak benar, apabila mempercayai bahwa ziarah pada hari raya lebih utama atau semacamnya, adapun apabila pengkhususan dikarenakan waktu yang luang, maka tidak mengapa karena ziarah tidak ada waktu yang khusus, boleh berziarah dimalam hari atau siang, pada hari-hari raya atau selainnya, tidak ada ketentuannya, tidak ada waktu yang khusus, karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: (ziarahilah kuburan, karena itu dapat mengingatkan kepada kalian akhirat), dan beliau tidak menentukan waktunya, maka setiap muslim dapat menziarahinya disetiap waktu, dimalam hari, dan siang, dan pada hari-hari raya, dan lainnya. Namun tidak mengkhususkan hari tertentu dengan maksud bahwa hari itu lebih utama dari lainnya, adapun jika mengkhususkannya karena tidak ada waktu selain itu maka tidak mengapa.

2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan ikhtilath campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)

4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini, apalagi jika hal itu dilakukan secara berjamaah dengan dipimpin oleh seseorang karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,

لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)

6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu.
Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.”

7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih).

Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)

8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).

Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

9. Kebiasaan ibu-ibu rumah tangga berbelanja besar-besaran ketika menyambut ramadhan:
Hal ini sebenarnya malah bertentangan dengan satu maksud dan tujuan puasa yaitu supaya kita prihatin ikut merasakan penderitaan kaum fakir miskin, bukan justru memindahkan waktu makan atau malah menambah porsi makan kita dari diluar Ramadhan. Apalagi hal seperti dapat mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Kalau kita bercermin pada para salaf dahulu, dimana untuk menyambut Ramadhan mereka lebih mempersiapkan fisik dan mental dengan melakukan pemanasan ibadah di bulan Sya’ban, barangkali untuk memaksimalkan ibadah dibulan Ramadhan.

Jika kita melihat kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibulan Sya’ban sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau banyak berpuasa dibulan tersebut.

Begitu juga para salaf dahulu sudah mulai memperbanyak bacaan Al-Qur’an sejak bulan Sya’ban.

Salamah bin Kuhail berkata: Dahulu kami menyebut bulan Sya’ban sebagai bulan para pembaca Al-Qur’an.

‘Amru bin Qois ketika masuk bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan menyibukkan dengan membaca Al-Qur’an.

Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau ketika dibulan Ramadhan mengurangi aktivitas dakwah dan memperbanyak ibadah dan khalwat dengan Rabnya.

Inilah cara para salaf dahulu menyambut bulan Ramadhan yang mulia ini.

10. Menyambut Ramadhan dengan bermain petasan dan mercun.
Ini jelas dilarang dalam Islam, karena selain menghamburkan harta untuk hal yang tidak bermanfaat, karena setiap rupiah yang kita belanjakan akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’alaa, juga dapat menganggu orang lain yang pastinya juga diharamkan apalagi saat bulan Ramadhan ketika kebanyakan manusia tengah khusyuk dalam beribadah.

Demikian semoga bermanfaat bagi kita semua.
berbagai sumber



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar